Vol 1:Chapter 08 – Di Luar Gua
Penerjemah : indra.k
Editor : dimas.ais
Sumber English :novelonlinefree.com
Editor : dimas.ais
Sumber English :novelonlinefree.com
“Tinggal di sini bagaikan mencoba bertahan hidup di gurun. Meskipun aku bukan ‘Bear Grylls’*, aku masih dapat bertahan. Juga, aku ingin memperbaiki kondisi kehidupan kami.”- Dalam buku harianku, hari ini memasuki hari ke 11, aku menuliskan tujuan seperti ini.
Aku benar-benar belum memiliki kesempatan melihat lingkungan yang ada di luar gua. Jadi ketika kami jalan-jalan, aku pun menggunakan kesempatan ini untuk menjelajahi pemandangan di sekitar gua.
Hal pertama yang kulakukan adalah penentuan posisi. Dalam keadaan sekarang di mana tidak banyak yang kuketahui tentang dunia ini, cara termudah untuk menjelajahinya adalah dengan membuat tempat tinggalmu sebagai koordinat pusat, dan mengingat keadaan di sekelilingnya.
Aku memutuskan kalau arah menuju pintu masuk gua akan dianggap sebagai arah ‘utara’. Tempat yang pernah kulewati sebelumnya, aku mengambil 300 langkah ke pepohonan lebat yang akan membawaku ke semak-semak besar. Setelah itu akan tiba di kaki gunung dan tiba di dataran (tln:padang rumput kah maksudnya?inget waktu berburu).
Selanjutnya, di sana ada jalan setapak menuju ke gunung.
Lalu, mari kita mulai menjelajah dari arah timur, yang kebetulan merupakan tempat pertama kami berburu girabbits. Sambil mempertahankan penampilan jalan-jalan, aku mencoba menetapkan tata letak geografis daerah tersebut kedalam ingatanku.
“Ini, apa ini namanya?”
Aku menunjuk buah berwarna merah yang menggantung di pohon dan bertanya padanya.
“Oh, ini, Holica.”
“Holica?”
“Ya, Holica.”
Meskipun aku mengira kalau aku sudah salah dengar, mengapa rasanya jika aku memakan buah itu, aku akan di penuhi dengan kekuatan?
“Oh … lalu, makan, bisa?”
“Bisa, mungkin.”
Dia nampak begitu mengetahui hal ini terlihat dari raut wajahnya ….
Hei, apa itu? bisa atau tidak!?
Buah berwarna merah seukuran crabapple dan memiliki permukaan yang mulus. Padahal itu terlihat seperti buah yang tumbuh secara unik di setiap cabangnya. Itu nampaknya seperti bisa dimakan, dengan kulit buah yang mengkilat dan memiliki warna yang menarik, seseorang pasti akan langsung membayangkan rasa manis dan asam…
Namun, aku tahu kalau itu mungkin tidak dapat dimakan sepertinya….
Aku tahu itu. Meskipun aku sudah tahu, aku masih memetik salah satu buahnya …
“Aku, makan?”
“Ya, Makan. Hehe…..”
Apa yang lucu tentang aku memakan buah?! Atau apakah kau mencoba mengerjaiku, mengetahui kalau buah ini tidak dapat dimakan?
Ahg, terserah lah. Karena aku sudah memetiknya, aku mungkin bisa memakannya. Seperinya itu nampak tidak beracun. Dan jika memang itu beracun, dia tidak mungkin membiarkanku memakanya. Paling-paling, rasanya enak (:v).
Begitu aku menggigitnya, rasa asam yang ekstrim menyebar ke dalam mulutku. Buahnya ternyata lebih asam dari pada hawthorn liar, berbau seperti campuran cuka putih dan rumput yang baru dipangkas.
Meskipun rasanya seperti itu, aku mencoba terus mengunyah daging buah tersebut.
“Enak?”
“Eee…nnnaa..”
Aku tidak bisa mengekpresikan apapun. Rasanya seperti seluruh wajahku telah tergores bersama-sama, dengan air liurku yang menggiring bola tak terkendali itu ke sisi mulutku.
Aku memuntahkannya. Jika aku terus melanjutkannya, itu akan dapat mengancam hidupku.
Ketika aku mencoba menyingkirkan rasa asam dengan bernafas melalui mulutku, aku melihat dia tertawa terbahak-bahak bahkan hingga membuat ular kecil di rambutnya bergoyang-goyang dengan liar.
Medusa, kau pasti seperti para gangster yang dengan sengaja menargetkan orang asing di stasiun kereta.
Sigh….. itu tidak usah di permasalahkan, lagian bukankah Divine Farmer* memakan lebih dari seratus tanaman seorang diri? Dibandingkan dengannya, aku bukanlah apa-apa.
Sambil menyeka air mataku, aku memberikan senyum pahit – ‘Rasanya buruk, benar-benar buruk’
“Hehe~” sambil tertawa dia menarik tanganku.
“Ayo pergi”
Jika dia menarik tanganku dan memimpin jalan, kecepatan kami berjalan akan lebih cepat dari pada saat aku yang memimpin jalan. Aku tidak suka perasaan seperti ‘diseret’ olehnya.
Namun, saat ini aku tidak keberatan, karena aku menemukan Golden Fruit yang legendaris.
Aku minta maaf untuk pemberian nama yang payah. Hanya saja aku tidak bisa memikirkan nama yang lebih baik.
Buahnya begitu mengkilap dan berwarna kuning bahkan hingga aku dapat merasakan pantulan sinar matahari dari buah tersebut. Dengan setiap buah hampir memiliki ukuran yang sama, rasanya seperti sebuah mahakarya.
Hanya dengan melihatnya, orang pasti bisa menebak kalau itu akan terasa enak banyak serangga kecil yang berdengung di sekitar sekumpulan buah.
Dia dengan cepat mengambil beberapa ikat buah untukku. Hanya ada 15 buah dalam 1 ikat, tapi itu memiliki berat seperti seikat anggur.
Memasukan salah satu buah tersebut ke dalam mulutku, cairan dari daging buah mengalir di mulutku, dan melepaskan bau seperti musky yang menuju ke hidungku.
Rasa manis dan asam yang menyegarkan benar-benar menghilangkan rasa asam mengerikan yang masih tersisa di mulutku. Jika Dewa juga memakan buah ini, pastilah buah ini akan menjadi yang paling ia sukai saat dihidangkan.
“Ini, apa nama ini?”
“Bolisnier Naca”
“Bo … apa?”
Saat kami sedang makan seikat buah Bo-apalah itu bersama-sama, aku mencoba mengingat jalan yang baru kami lewati. Jika ingatanku benar, maka kami berjalan menuju daerah NorthEast.
Dalam sebuah catatan, hanya ada 5 pohon yang memiliki buah emas seperti itu. Mungkin akan sulit menemukan pohon seperti itu di masa depan, jadi aku berkonsentrasi mengingat area sekitarnya kedalam ingatanku, sebuah langkah penting sebelum melanjutkan perjalanan kami.
Begitu kami keluar dari hutan, kami menemukan kalau seluruh bagian utara ditutupi begitu banyak semak belukar. Tidak mungkin kami menyelesaikan perjalanan untuk melewati hal itu hari ini.
Namun, hari itu aku dapat mengetahui kalau bentuk gunung tersebut seperti curva (melengkung).
Setelah mempertimbangkan jarak, kami mulai berjalan menuju arah Barat.
Dibandingkan dengan berjalan melewati semak-semak yang tak terhitung jumlahnya, aku lebih suka berjalan melewati hutan. Bagaimanapun, karena tidak banyak yang dapat dilihat di sekeliling kami, langkahmu adalah sesuatu yang harusnya kau takuti.
Juga , aku tidak mungkin tersesat jika aku berjalan di sepanjang tepi hutan dan semak belukar.
Meskipun suara kicauan burung terdengar di seluruh hutan, burung nampaknya sulit ditemukan, kecuali burung mirip burung pipit yang memiliki bulu kuning.
Setelah berjalan di bawah naungan pepohonan sekitar setengah jam, akhirnya aku melihat sebuah sungai kecil, untukku itu seperti sungai kecil. Berdasarkan pengetahuan geografisku, sungai ini harusnya berasal dari puncak gunung, seharusnya terbentuk melalui lelehan salju.
Airnya pastilah sangat dingin, dan berdasarkan pernyataan di atas, gunung ini haruslah sangat tinggi.
Sebenarnya, itu bukanlah kalimat dalam pelajaran, aku hanya bisa menebak secara acak. Kenyataannya airnya benar-benar dingin.
Berjongkok di dekat sungai, aku mencoba meminum seteguk air. Itu rasanya sedikit lebih baik dibandingkan mata air di gua.
Setelah menemukan sungai di Utara, aku menyadari bahwa sungai itu mengalir ke arah barat. Ada kemungkinan bahwa ada banyak sungai kecil serupa sepanjang lereng gunung, yang akhirnya menyatu ke sungai yang lebih besar ke hilir.
Meskipun airnya benar-benar jernih. Itu bahkan bisa membuatku melihat bayangan wajahku sendiri. Hmm, rambutku bertambah panjang, dan aku rasa sudah lama sejak aku mencukurnya.
Uhh…… aku tau wajahmu jauh lebih menawan dariku, tapi tolong jangan bersandar di punggungku. Keseimbanganku akan
“Hmm? Apa yang kamu lihat …” dia bertanya sambil cekikikan.
“Uhh, aku”
“Ah!”
“Ini!”
Bersamaan dengan gelombang besar yang disebabkan oleh sesuatu yang tercebur, kami berdua jatuh ke sungai. Walaupun aku sama sekali tidak bertindak ceroboh, mengapa ini harus terjadi?! Tidak kah kau sadar akan berat badanmu sendiri!?
Di sungai yang sedingin es, hal pertama yang kulakukan adalah memastikan kacamataku masih menempel di wajahku. Dan kemudian dengan cepat aku ke tepi sungai bersamanya. Aku cukup yakin tidak ada yang suka dengan Ice Bucket Challenge* untuk waktu yang lama.
Di bawah matahari yang mulai terbenam, sesosok manusia dan Medusa saling berpelukan, mereka berdua menggigil kedinginan.
Ini sangat sangat dingin. Sebagai orang yang berasal dari Cina bagian Utara-Timur, aku harus mengakui kalau aku bisa menghilangkan rasa dingin ini.
Di lain sisi, seharusnya wajar kalau aku menggigil kedinginan, kenapa kau, yang seorang Medusa juga ikut menggigil?!
“Dingin.”
Aku, yang memiliki sedikit kosakata, hanya bisa mengulangi kata-kata itu berulang kali.
“Sangat dingin.”
Bahkan dia, yang memiliki lebih kemampuan berbahasa lebih baik dariku, hanya bisa menambahkan satu suku kata.
Aku merasa sangat tidak nyaman mengenakan pakaian basah yang menempel di tubuhku. Begitu aku memikirkan bagaimana dia juga basah kuyup sampai ke tulang, aku mungkin tidak merasa seperti sedang memeluk bom yang bisa meledak kapan pun.
Namun, di momen seperti itu, kami sangatlah ‘tenang’.
Dari arah Utara Barat dari pintu masuk gua, ada sebuah sungai kecil yang bisa membekukan seseorang sampai mati. Yap, aku mengingat itu.
Saat kami kembali ke gua, malam sudah datang. Setelah mengganti pakaian dan bersih-bersih kami berdua tidak sungkan memasukan diri ke dalam tiga lapis bulu hewan.
Mengulas kembali ingatan tata letak medan. Yang sekarang aku ingin lakukan adalah bermimpi indah dan tidur dengan lelap.
No comments:
Post a Comment